ANALISIS SISI POLITIK KENAIKAN BBM DAN KOMPENSASI BAGI RAKYAT MISKIN
Partai Demokrat (PD) dan Pemerintah mulanya berkeras
agar
Pasal 7 ayat 6a yang diusulkan untuk ditambahkan dalam UU APBN-P, berisi ketentuan apabila terjadi lonjakan harga minyak produksi Indonesia (ICP) rata-rata 10 persen dalam 3 bulan, maka Pemerintah berwenang menaikkan harga BBM untuk menekan biaya subsidi. Sementara Golkar mengusulkan lonjakan rata-rata 15 persen dalam 6 bulan.
Pasal 7 ayat 6a yang diusulkan untuk ditambahkan dalam UU APBN-P, berisi ketentuan apabila terjadi lonjakan harga minyak produksi Indonesia (ICP) rata-rata 10 persen dalam 3 bulan, maka Pemerintah berwenang menaikkan harga BBM untuk menekan biaya subsidi. Sementara Golkar mengusulkan lonjakan rata-rata 15 persen dalam 6 bulan.
Usul PD ini akan kalah dengan usul Golkar yang memang
beda. Apalagi jika ditambah dengan usul PDIP, PKS dan Gerindra serta yang lain,
yang samasekali tidak mau menambah bunyi Pasal 7 ayat (6) itu dengan ayat (6a)
UU APBN-P itu. Kalau ada 3 opsi, maka DPR akan gagal ambil keputusan, karena
tidak satu usulpun akan mencapai dukungan mayoritas. Dalam menit terakhir
menjelang voting, PD rubah haluan ikut Golkar, sehingga mayoritas anggota DPR
memilih opsi Golkar yang didukung PD, PPP, PAN dan PKB. Dengan demikian mereka
mampu mengalahkan keinginan PDIP, PKS dan Gerindra yang tidak mau menaikkan
BBM. Harga BBM bisa dinaikkan, tapi bukan usul versi PD, melainkan versi
Golkar.
Kalau usul PD itu yang menang, maka 1 April pastilah
harga BBM naik. Sebab lonjakan harga ICP sudah rata-rata di atas 10 persen.
Tapi karena ikut versi Golkar, maka kenaikan tak terjadi, sebab lonjakan harus
dihitung rata-rata 15 persen dalam 6 bulan, dan prosentase itu belum tercapai.
Tapi, dengan versi Golkar itu, Pemerintah menjadi leluasa untuk menaikkan atau
menurunkan harga BBM, jika dalam waktu 6 bulan ke depan ini lonjakan ICP telah
mencapai angka rata-rata 15 persen, tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi.
Kalau kemauan PD yang menang, harga BBM naik 1 April,
atau suatu ketika naik jika telah sesuai dengan bunyia Pasal 7 ayat (6a), maka
program kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM, sejenis BLT
dulu) segera berjalan. Masyarakat miskin yang dapat kompensasi itu jumlahnya
18,5 juta kepala keluarga. Besarnya bantuan telah dianggarkan dalam APBN yakni
sebesar Rp 150 ribu untuk setiap kepala keluarga setiap bulan selama 6 bulan.
Kalau satu keluarga rata-rata terdiri atas 4 orang, maka jumlah rakyat yang
menikmati BLSM ini berjumlah 74 juta orang. Angka ini potensial untuk mendukung
PD dalam Pemilu mendatang, termasuk mendukung pasangan Capres-Cawapres yang
mereka usung. Iklan-iklan nanti akan bermunculan di televisi, berisi ucapan
terima kasih rakyat kecil kepada Pak SBY dan PD yang telah bermurah hati
memberikan bantuan BLSM. Orang kecil akan mengira, dan akhirnya bukan mustahil
akan percaya, bantuan ini memang benar-benar datang dari Pak SBY dan PD sebagai
partai berkuasa. Padahal asal uang itu, uang rakyat juga, yang dianggarkan
melalui APBN.
Menjelang Pemilu 2014, dengan melihat trend yang
terjadi setahun belakangan ini, ada kemungkinan harga minyak dunia akan turun.
Bukan mustahil pula, Pak SBY akan muncul di televisi mengumumkan harga BBM
turun. Rakyatpun senang. Simpati kian bertambah, citra akan naik, dan berkahpun
akan datang. Opini rakyat kecil dengan mudah dapat dipermainkan dan dibentuk
melalui iklan-iklan. Semua ini akan membawa berkah yang luar biasa bagi PD
untuk meraup suara dalam Pemilu 2014, sama halnya dengan Pemilu 2009, melalui
cara yang hampir sama. Maklumlah orang kecil dan miskin, opininya mudah
dibentuk untuk kemudian digiring ke satu arah sesuai kemauan orang yang punya
hajat, melalui iklan-iklan di televisi dan radio-radio, yang selalu ditonton
dan didengar rakyat kecil di seantero negeri
Analisis saya di atas, mungkin saja didasari
su'udzdzan. Namun apa yang saya tulis didasarkan pada pengalaman naik-turunnya
harga BBM dalam kurun waktu 2004-2009 dan munculnya iklan-iklan di televisi dan
radio berisi ucapan terima kasih rakyat kecil kepada Pak SBY. Banyak di antara
kita yang sudah lupa dengan kejadian itu. Bisa saja terulang, tapi bisa juga
tidak, tentunya. Namanya saja analisis sosial dan politik, tidaklah bersifat
matematis tentunya...
sumber: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=349566581747346&id=302310959806242&comment_id=4357917&offset=3&total_comments=18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar