Sepak bola, bunuh diri dan homoseksual
Sepak bola, bukan sekedar memanggungkan drama permainan 2 kali 45 menit di atas bentangan hamparan rumput hijau. Sepak bola menyimpan seribu satu drama kehidupan, dari pujian sampai cemooh, dari hormat sampai penistaan.
Ada tawa, ada tangis, ada dukacita dan ada sukacita. Semuanya campur baur teraduk dalam adonan kamir "roti" sepak bola. Rasanya gurih bila kemenangan menyambangi, rasanya getir bila kekalahan mendatangi. Dalam sepak bola, manusia mengajukan pertanyaan menukik ke palung hidup.
Apakah hidup ini layak dijalani sebagaimana adanya? Aha...ini bukan jenis pertanyaan mereka yang sedang getol memburu jodoh. Ini pertanyaan yang mengusik mereka yang menghabisi hidupnya dengan bunuh diri dan menerima cemooh sebagai suka sesama jenis atau homoseksual. Semua ini ada berdenyut dalam laga sepakbola.
Menganggap bahwa hidup tidak lagi layak dijalani, pelatih timnas Wales Gary Speed dan kiper Hannover 96 dan timnas Jerman, Robert Enke mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Speed bunuh diri di kediamannya, di Huntington, Cheshire, Inggris, sementara Enke mengempaskan diri ke rel kereta api sesaat sebelum kereta melintas di Neustadt, Jerman. Sebelum bunuh diri, keduanya diterpa keheningan hati, kebeningan budi.
Sehari sebelum bunuh diri, Speed mengantar kedua buah hatinya dan sempat bertemu striker Manchester United, Michael Owen. Mereka saling menyapa dan melambaikan tangan. Bahkan, seusai tampil di televisi BBC, Speed melontarkan senyum dan meladeni foto bareng para fansnya. Dia tampil sebagai sosok tangguh di hadapan "kesedihan hati yang sangat pribadi".
Menurut Marker selaku dokter yang merawat Enke, kliennya itu mengalami depresi sejak 2003. Saat itu, Enke yang masih berkostum Barcelona diterpa frustrasi karena tak kunjung mendapat tempat utama. Depresi jiwa membebaninya selama bertahun-tahun dan Enke harus berkonsultasi ke psikiater secara rutin. "Ia menderita depresi dan ketakutan terhadap kegagalan. Meski menjalani perawatan selama berbulan-bulan, kami tak berhasil mencegahnya melakukan bunuh diri," kata Marker. Yang mengenaskan hati, dalam surat wasiatnya, Enke meminta maaf kepada keluarga dan staf perawatnya karena berpura-pura lebih baik dan membiarkan mereka percaya bahwa ia benar-benar pulih.
Berbeda dengan Enke, Speed menggantung diri bukan karena mengalami depresi. Keduanya menambah daftar pesepakbola yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Yang fenomenal, terjadi pada 20 Januari 1983, ketika pemain legendaris asal Brasil Garrincha mengalami depresi dan kerapkali coba melakukan bunuh diri yang tak pernah berhasil.
Piawai menggocek bola, Garrincha bersama Pele membawa Brasil menyabet Piala Dunia, 1958 dan 1962. Disebut sebagai sosok yang tak pernah berketapan hati dalam melakoni hidup, Garrincha gemar mabuk-mabukan dan mengumbar petualangan seks bersama banyak perempuan. Dia meninggal karena penyakit dari efek kecanduannya terhadap alkohol dan seks.
Bunuh diri, dari amatan filsuf Albert Camus, adalah pengakuan si pelaku bahwa ia telah menelan kekalahan dari laga bola-bola kehidupan. "Hidup sudah tidak layak dijalani dan penderitaan sama sekali tidak ada gunanya," begitu kira-kira testimoni mereka yang bunuh diri.
Mereka yang bunuh diri seakan berhenti di kelokan terakhir hidup kemudian berserah kepada logika kematian, bukan justru kepada logika kehidupan. Mereka terasing di lorong jalan tanpa arah kemudian mereka berserah kepada ketiadaan. Inilah "logika" bunuh diri. Absurd!
Dan sepakbola mengajar logika kejayaan, keriangan dan kegembiraan hidup alias optimisme. Di atas meja logika bola kehidupan, kini tersedia pinggan soal yang nyerempet-nyerempet perjuangan hidup. Jagat sepak bola Italia dan Inggris kini dipusingkan dengan soal para pemain sepak bola yang memiliki orientasi homoseksual.
Presiden Persatuan Pemain Bola Italia, Damiano Tommasi, menyarankan, para pemain sepak bola yang homoseksual sebaiknya tak mengaku. Homoseksual masih menjadi hal yang tabu di ranah sepak bola yang nota bene olahraga "macho".
Pada akhir 1980-an dan era 1990-an, Justin Fashanu merupakan pemain pertama yang mengaku dirinya sebagai homoseksual. Pemain yang pernah membela banyak klub, termasuk Manchester City, itu sempat dikucilkan dan dicemooh.
Akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri pada 1998 dalam usia 37 tahun, setelah dituduh berhubungan seks dengan pemuda berumur 17 tahun.
Sementara, generasi anyar pendukung sepak bola di Inggris tidak keberatan jika ada pemain sepak bola profesional yang homoseksual. Ini diketahui berdasarkan hasil survei online yang dilakukan Universitas Staffordshire di Inggris. Mereka menanyakan masalah ini kepada 2.000 suporter. Hasilnya, hanya tujuh persen yang menolak pemain homoseksual yang bermain di ajang kompetisi Liga Primer.
Ketika bicara sepak bola dan homoseksualitas dan bunuh diri, maka pertanyaan kuncinya, dengan siapa Anda jatuh cinta? Dengan sepak bola atau justru dengan pencarian petualangan seks yang justru mengundang cemooh publik? Ikut nalar atau ikut perasaan? Benar atau tidak benar, lantas tidak dapat dipulangkan kepada "apa kata otoritas". Perbanyaklah mengajukan pertanyaan "mengapa". Ah, gitu aja kok repot.
Ada tawa, ada tangis, ada dukacita dan ada sukacita. Semuanya campur baur teraduk dalam adonan kamir "roti" sepak bola. Rasanya gurih bila kemenangan menyambangi, rasanya getir bila kekalahan mendatangi. Dalam sepak bola, manusia mengajukan pertanyaan menukik ke palung hidup.
Apakah hidup ini layak dijalani sebagaimana adanya? Aha...ini bukan jenis pertanyaan mereka yang sedang getol memburu jodoh. Ini pertanyaan yang mengusik mereka yang menghabisi hidupnya dengan bunuh diri dan menerima cemooh sebagai suka sesama jenis atau homoseksual. Semua ini ada berdenyut dalam laga sepakbola.
Menganggap bahwa hidup tidak lagi layak dijalani, pelatih timnas Wales Gary Speed dan kiper Hannover 96 dan timnas Jerman, Robert Enke mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Speed bunuh diri di kediamannya, di Huntington, Cheshire, Inggris, sementara Enke mengempaskan diri ke rel kereta api sesaat sebelum kereta melintas di Neustadt, Jerman. Sebelum bunuh diri, keduanya diterpa keheningan hati, kebeningan budi.
Sehari sebelum bunuh diri, Speed mengantar kedua buah hatinya dan sempat bertemu striker Manchester United, Michael Owen. Mereka saling menyapa dan melambaikan tangan. Bahkan, seusai tampil di televisi BBC, Speed melontarkan senyum dan meladeni foto bareng para fansnya. Dia tampil sebagai sosok tangguh di hadapan "kesedihan hati yang sangat pribadi".
Menurut Marker selaku dokter yang merawat Enke, kliennya itu mengalami depresi sejak 2003. Saat itu, Enke yang masih berkostum Barcelona diterpa frustrasi karena tak kunjung mendapat tempat utama. Depresi jiwa membebaninya selama bertahun-tahun dan Enke harus berkonsultasi ke psikiater secara rutin. "Ia menderita depresi dan ketakutan terhadap kegagalan. Meski menjalani perawatan selama berbulan-bulan, kami tak berhasil mencegahnya melakukan bunuh diri," kata Marker. Yang mengenaskan hati, dalam surat wasiatnya, Enke meminta maaf kepada keluarga dan staf perawatnya karena berpura-pura lebih baik dan membiarkan mereka percaya bahwa ia benar-benar pulih.
Berbeda dengan Enke, Speed menggantung diri bukan karena mengalami depresi. Keduanya menambah daftar pesepakbola yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Yang fenomenal, terjadi pada 20 Januari 1983, ketika pemain legendaris asal Brasil Garrincha mengalami depresi dan kerapkali coba melakukan bunuh diri yang tak pernah berhasil.
Piawai menggocek bola, Garrincha bersama Pele membawa Brasil menyabet Piala Dunia, 1958 dan 1962. Disebut sebagai sosok yang tak pernah berketapan hati dalam melakoni hidup, Garrincha gemar mabuk-mabukan dan mengumbar petualangan seks bersama banyak perempuan. Dia meninggal karena penyakit dari efek kecanduannya terhadap alkohol dan seks.
Bunuh diri, dari amatan filsuf Albert Camus, adalah pengakuan si pelaku bahwa ia telah menelan kekalahan dari laga bola-bola kehidupan. "Hidup sudah tidak layak dijalani dan penderitaan sama sekali tidak ada gunanya," begitu kira-kira testimoni mereka yang bunuh diri.
Mereka yang bunuh diri seakan berhenti di kelokan terakhir hidup kemudian berserah kepada logika kematian, bukan justru kepada logika kehidupan. Mereka terasing di lorong jalan tanpa arah kemudian mereka berserah kepada ketiadaan. Inilah "logika" bunuh diri. Absurd!
Dan sepakbola mengajar logika kejayaan, keriangan dan kegembiraan hidup alias optimisme. Di atas meja logika bola kehidupan, kini tersedia pinggan soal yang nyerempet-nyerempet perjuangan hidup. Jagat sepak bola Italia dan Inggris kini dipusingkan dengan soal para pemain sepak bola yang memiliki orientasi homoseksual.
Presiden Persatuan Pemain Bola Italia, Damiano Tommasi, menyarankan, para pemain sepak bola yang homoseksual sebaiknya tak mengaku. Homoseksual masih menjadi hal yang tabu di ranah sepak bola yang nota bene olahraga "macho".
Pada akhir 1980-an dan era 1990-an, Justin Fashanu merupakan pemain pertama yang mengaku dirinya sebagai homoseksual. Pemain yang pernah membela banyak klub, termasuk Manchester City, itu sempat dikucilkan dan dicemooh.
Akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri pada 1998 dalam usia 37 tahun, setelah dituduh berhubungan seks dengan pemuda berumur 17 tahun.
Sementara, generasi anyar pendukung sepak bola di Inggris tidak keberatan jika ada pemain sepak bola profesional yang homoseksual. Ini diketahui berdasarkan hasil survei online yang dilakukan Universitas Staffordshire di Inggris. Mereka menanyakan masalah ini kepada 2.000 suporter. Hasilnya, hanya tujuh persen yang menolak pemain homoseksual yang bermain di ajang kompetisi Liga Primer.
Ketika bicara sepak bola dan homoseksualitas dan bunuh diri, maka pertanyaan kuncinya, dengan siapa Anda jatuh cinta? Dengan sepak bola atau justru dengan pencarian petualangan seks yang justru mengundang cemooh publik? Ikut nalar atau ikut perasaan? Benar atau tidak benar, lantas tidak dapat dipulangkan kepada "apa kata otoritas". Perbanyaklah mengajukan pertanyaan "mengapa". Ah, gitu aja kok repot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar